Sejauh yang ku baca, kelas social lahir di dunia
kapitalistik dimana perbedaan merupakan hal yang sangat nyata. Tak dapat
dihindarkan. Kulit adalah perbedaan, warna mata, tebal dompet, luas halaman
rumah, gelar, merk sepatu, jenis gatget, semua adalah perbedaan. Untuk menegaskanya,
digunakanlah kelas. Singkatnya, karena kita berbeda, kita perlu pengelompokkan
agar semua orang mendapatkan hak sesuai dengan perbedaan itu.
Lebih parahnya di Negara-negara eropa denga mayoritas
bermata biru, maka secara otomatis kelaspun akan dibagi berdasarkan warna mata.
Ibaratnya nih, kalo ada dua manusia datang ke rumah sakit dengan kondisi yang
sama gawatnya, pihak RS akan memanggil “bapak yang warna matanya biru silakan
masuk”. Yang warna matanya tidak biru hanya bisa membatin “salah siapa? Salah gue?
Salah temen-temen gue, kalo mat ague ga biru?” (Ala AADC) selanjutnya scene
dilanjutkan dengan pembacaan puisi “ku lari kehutan kemudian teriakku, benci
sendiri…”
Benar pertanyaan lelaki-tidak-bermata-biru tadi, salah siapa
kalau mata dia tidak biru. Jelas bukan salah dia, apalagi teman-teman dia. Sejatinya
teori macam ini tidak semestinya terjadi, jika akal kita masih normal, atau
paling tidak kita masih mau mikir. Apa yang membuat orang bermata biru lebih
terhormat disbanding mataku yang cokelat dan sipit. Toh, kita tidak akan di
hisab atas warna mata kita nantinya.
Diskriminasi kelas terjadi pada masa pra revolusi perancis,
namanya budak sama juragan, jongos sama yang dijongosi jelas posisinya. Dan jelas
ini tidak mendatangkan kedamaian karena aka nada terus menerus benturan antar
dua kelas itu. Pasca revolusi perancis, harapan orang-orang seperti lelaki-tidak-bermata-biru
pupus hanya tinggal harapan. Taka da perbedaan, keadilan yang diusung selama
masa revolusi terdistorsi hingga kehilangan makna. lelaki-tidak-bermata-biru
tetap menjadi jongos dan juragannya tetap mereka yang bermata biru.
Itulah kapitalisme. Bukan sok keren, makanya bahas
kapitalisme. Hanya saja, kejadian lelaki-tidak-bermata-biru biru tadi ada 100
meter dari kontrakan saya. Bisa jadi itu juga ada bukan 100 meter dari rumahmu,
tapi tepat dibawah hidungmu. Tidak lama lagi, hanya kaum borjuis yang bisa naik
angkot. Orang Indonesia setara lelaki-tidak-bermata-biru paling banter hanya
bisa jadi supir atau kenek angkot, Karena minyak kita dimiliki para kapitalis.
Balik ke TKP di RS tadi, baliho depan RS tentang pelayanan prima sebenarnya diikuti tanda bintang *kalau duit anda tebal yang ditulis dengan ukuran font 9. Jadi pertanyaannya, kenapa harus ada kelas social kalau ada yang namanya keadilan social?Pletak! Aku di jitak. Katanya “jangan singgung2 tentang pancasila, ntar di tuduh tidak pancasilais”. Lalu aku hanya bisa diam. Menunggu sampai ia pergi, lalu kembali berkoar-koar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar