Selamat datang diblo saya

Kamis, 18 April 2013

Kelas

Remuk rasanya badan pagi itu, alhamdulillahnya aku jenis manusia yang bisa tidur dimanapun dalam kondisi apapun, termasuk di dalam kolong tempat tidur Rumah sakit. Meski terantuk besi ranjang berkali-kali, toh aku bisa balik lagi ke mimpiku (imagine! I can still dreaming). Ada sekitar 12 ranjang dalam ruangan 10x 3 m dengan dua kipas angina yang menyala sepanjang malam. Inilah yang disebut dengan kelas!
Sejauh yang ku baca, kelas social lahir di dunia kapitalistik dimana perbedaan merupakan hal yang sangat nyata. Tak dapat dihindarkan. Kulit adalah perbedaan, warna mata, tebal dompet, luas halaman rumah, gelar, merk sepatu, jenis gatget, semua adalah perbedaan. Untuk menegaskanya, digunakanlah kelas. Singkatnya, karena kita berbeda, kita perlu pengelompokkan agar semua orang mendapatkan hak sesuai dengan perbedaan itu.
Lebih parahnya di Negara-negara eropa denga mayoritas bermata biru, maka secara otomatis kelaspun akan dibagi berdasarkan warna mata. Ibaratnya nih, kalo ada dua manusia datang ke rumah sakit dengan kondisi yang sama gawatnya, pihak RS akan memanggil “bapak yang warna matanya biru silakan masuk”. Yang warna matanya tidak biru hanya bisa membatin “salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue, kalo mat ague ga biru?” (Ala AADC) selanjutnya scene dilanjutkan dengan pembacaan puisi “ku lari kehutan kemudian teriakku, benci sendiri…”
Benar pertanyaan lelaki-tidak-bermata-biru tadi, salah siapa kalau mata dia tidak biru. Jelas bukan salah dia, apalagi teman-teman dia. Sejatinya teori macam ini tidak semestinya terjadi, jika akal kita masih normal, atau paling tidak kita masih mau mikir. Apa yang membuat orang bermata biru lebih terhormat disbanding mataku yang cokelat dan sipit. Toh, kita tidak akan di hisab atas warna mata kita nantinya.
Diskriminasi kelas terjadi pada masa pra revolusi perancis, namanya budak sama juragan, jongos sama yang dijongosi jelas posisinya. Dan jelas ini tidak mendatangkan kedamaian karena aka nada terus menerus benturan antar dua kelas itu. Pasca revolusi perancis, harapan orang-orang seperti lelaki-tidak-bermata-biru pupus hanya tinggal harapan. Taka da perbedaan, keadilan yang diusung selama masa revolusi terdistorsi hingga kehilangan makna. lelaki-tidak-bermata-biru tetap menjadi jongos dan juragannya tetap mereka yang bermata biru.
Itulah kapitalisme. Bukan sok keren, makanya bahas kapitalisme. Hanya saja, kejadian lelaki-tidak-bermata-biru biru tadi ada 100 meter dari kontrakan saya. Bisa jadi itu juga ada bukan 100 meter dari rumahmu, tapi tepat dibawah hidungmu. Tidak lama lagi, hanya kaum borjuis yang bisa naik angkot. Orang Indonesia setara lelaki-tidak-bermata-biru paling banter hanya bisa jadi supir atau kenek angkot, Karena minyak kita dimiliki para kapitalis.
Balik ke TKP di RS tadi, baliho depan RS tentang pelayanan prima sebenarnya diikuti tanda bintang *kalau duit anda tebal yang ditulis dengan ukuran font 9. Jadi pertanyaannya, kenapa harus ada kelas social kalau ada yang namanya keadilan social?
Pletak! Aku di jitak. Katanya “jangan singgung2 tentang pancasila, ntar di tuduh tidak pancasilais”. Lalu aku hanya bisa diam. Menunggu sampai ia pergi, lalu kembali berkoar-koar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar