Turun dari bis, tiga anak manusia
terlihat bingung mencari arah. Dimana angkot nomer 06? Setelah lama mencari
barulah yang dimaksud oleh sang navigator angkotnya nomer 16. Orang-orang pasti
mengira kami adalah bocah urban yang mencari peruntungan di tanah Batavia. Ya,
Jakarta. Sebagai ibu kota Negara, Jakarta adalah representasi dunia atas Indonesia.
Kecanggihan alat transportasi, angka kriminalitas, angka pengangguran, semua
merepresentasikan kondisi Indonesia.
Menurutku, hal
yang paling mengerikan di Jakarta adalah. GEDUNG. Entah karena aku orang udik
atau karena aku cantik, gedung-gedung tinggi menjulang diJakarta selalu
meresahkan hatiku. Bukan karena dia merebut suamiku, tapi karena keangkuhan dan
kesombongannya. Bagiku, gedung-gedung tinggi itu seakan berkata “disini kami
menguasai kehidupanmu 20 tahun kedepan!”. Jadilah aku ingat dengan serial drama
korea Boys Before Flower. Dulu, bagiku lelaki macam gu junpyo tidak mungkin ada
di dunia nyata, selain rambut permnya. Mana mungkin lelaki yang bisa bangun di
bali, makan siang di hawai dan tidur malam di menara Eiffel ada. Tapi nampaknya
gedung-gedung itu juga mengatakan “ada gu junpyo disini”. Kau bisa
membayangkan, tiap kali aku memandang gedung tinggi, ada wajah gujunpyo dengan
rambunya keritingnya. So annoying!.
Terlalu
tinggilah kalau kita membahas gedung tinggi, mari kita turun puluhan meter
dibawahnya. Gerobak-gerobak kayu beratapkan bendera partai banyak di parkir
didepan pertokoan. Bukan sampah yang mereka angkut, tapi perut yang lapar. Padahal
dibelahn daerah Indonesia yang lain belum selesai partai-partai itu bagi-bagi
motor. Setengah meter dari sana, berdiri rumah mewah segede alaihim. Didalamnya
ayah, ibu, dan anak bercengkrama tentang lokasi liburan selanjutnya setelah
konser super junior yang akan diadakan dua malam selanjutnya.
Huftt…
itulah Jakarta, itulah Indonesia. Pada siapa pemilik rumah gerobak itu akan
mengeluh jika satpol PP akhirnya menangkat mereka karena sangkaan merusak
pemandangan kota? Pemerintah mana yang harus mereka patuhi? Terkadang kita lupa
mencoba sudut pandang lain ketika berfikir, hanya karena kita tak pernah
menginderanya apakah itu bermakna ia tiada?
Jakarta
hanyalah sekian decimal persen dari korban bencana kapitalisme yang sedang
melanda dunia. Ia tak bisa diselamatkan oleh supermen apalagi yang bocah kayak
astroboy. Dunia butuh Naruto. Lho? Maksud saya dunia butuh perbaikan. Yang
perlu kita sadari bencana kapitalisme ini tidak hanya menyerang Indonesia,
apalagi Jakarta. Negara-negara timur tengah yang kaya akan minyak bisa dibawah
kediktatoran, kaum muslimin terus dibantai, orang miskin amerika terus menerus meningkat,
wall street nyaris lumpuh, system hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas.
Inilah rangkaian
hari pertama dengan rute bandara-kalibata-bidara
cina-istiqlal-monas-istiqlal-bidara cina. Hari kedua adalah jawaban dari
episode suram diatas. Makanya tunggu episode selanjutnya.
Catatan jempol:
1. Konoha
kena bencana kapitalisme juga ga ya?
2. Episode
suram ini sudah terjadi lebih dari 90 tahun, sudahlah lelah dunia membopong
demokrasi yang segitu mahalnya. Mari buka literature berapa banyak dana yang
sudah dikeluarkan Indonesia untuk demokrasi. Kata
ustad Abay, demokrasi tidak boleh disamakan dengan sampah, karena sampah masih
bisa di daur ulang, sedangkan demokrasi harus dimusnahkan dan dihilangkan,
hingga debu-debunyapun tak kita hirup
3. Ini kisah pra keberangkatan Baru saja naik ke
travel aku kaget mendengar kabar kalau seorang ustad kondang akan naik travel
yang sama dengan aku dan kawan-kawan. Katanya namanya ustad Yusuf Mansyur,
kontan saja aku langsung nanya “ boleh minta tanda tangan ga ya?”. namanya juga anak kampung, aku heboh aku
waktu tau akan bertemu langsung dengan orang yang suka tampil di tivi,
jangankan ustad Yusuf Mansyur, kalau ada pencuri ayam di dekat rumah yang
ketangkap polisi terus masuk tivi aku pasti datang ke rumahnya nitip tanda
tangan. Tapi, ya sudah lah ya. Toh ternyata yang aku temui bukan ustad Yusuf
Mansyur tapi seroang bapak yang memang namanya Yusuf Mansyur, aku dan kawan
hanya bisa saling pandang. Jadilah perjalanan aku habiskan dengan tidur sambil
menahan sesuatu agar tidak keluar dari perut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar