Seorang teman
pernah menuliskan dalam salah satu jendela sosmed tentang kekecewaannya pada
kondisi yang memaksa dia untuk tidak melaksanakan ibadahnya, karena mayoritas
berkehendak hari itu digunakan untuk ujian. Ia berkomentar cukup tegas dengan
mengatakan ia mengorbankan hari ibadahnya demi mayoritas bahkan ia mengatakan
ia tidak heran jika kaum muslimin di belahan dunia lain diperlakukan
semena-mena karena iapun merasakan hal yang serupa di negeri ini. Jelas, yang
ia maksud dengan mayoritas adalah Islam yang memang mayoritas di negeri ini.
Saya sangat mengerti apa yang ia maksudkan. Saya paham, bahkan saya merasakan
apa yang dia rasakan.
Jika dikatakan
minoritas pastilah mengikuti mayoritas, maka sebenarnya hal itu tidak bisa dikatakan
benar secara keseluruhan. Sebagai seorang muslim, selama ini sayapun merasa
tidak bisa melaksanakan Islam sesuai dengan aturan ibadah yang ditetapkan dalam
Islam. Bahkan untuk sekedar sholat, hak itu pun sering kali tidak diindahkan di
republik ini. Dalam sistem pendidikan sekuler seperti sekarang, kadang kala
waktu kuliah berbarengan dengan waktu sholat sehingga memaksa mahasiswa muslim
untuk sholat di akhir-akhir waktu. Bahkan tidak jarang, ada situasi yang
memaksa mahasiswa muslim meninggalkan sholatnya misalnya pada saat ospek
universitas. Dari sinilah saya berpikiran bahwa saya dan kawan saya ini berada
pada posisi yang sama. Sama-sama tidak mendapatkan hak masing-masing, apapun agama kita baik minoritas ataupun mayoritas. Oleh
karena itu, mungkin yang harus diluruskan disini, bukanlah Islam yang membuat
kawan saya ini tidak dapat melaksanakan ibadahnya dengan leluasa hanya karena
pelaku pembuat kebijakan adalah seorang muslim, sama sekali bukan. Sebab Allah secara
jelas menyatakan dalam Al-quran “lakum diinukum wal yadiin” bagimu agamamu,
bagiku agamaku. “laa iqraha fiddin” tidak ada paksaan dalam agama.
Jika kita
menilik sirah (perjalanan hidup) Rasulullah, sangat jelas bahwa Islam sangat
menghargai perbedaan agama. Rasulullah SAW bersabda barang siapa menyakiti
orang kafir dzimmi, maka aku akan menjadi lawannya pada hari kiamat. Hadist
inilah yang menjadi hukum syara penjagaan harta dan kehormatan non muslim dalam
sistem khilafah. Sistem inipun telah terbukti selama berabad-abad
mensejahterakan manusia, baik kaum muslimin maupun umat agama lain. Spanyol
(Andalusia), yang dulu merupakan bekas bagian dari kekhilafahan adalah kota
dengan julukan the land with 3 religion.
Kristen, yahudi dan islam hidup dibawah payung yang sama yaitu khilafah
islamiyah. Masing-masing orang, apapun latar belakang agamanya, akan
mendapatkan hak yang sama sebagai warga Negara. Jika kaum muslimin diwajibkan
untuk menuntut ilmu, maka bagi agama lain menuntut ilmu adalah hak bagi mereka
sebagai warga Negara. Jika dalam keadaan perang kaum muslimin diwajibkan untuk
berjihad mengangkat senjata, maka bagi agama lain darah mereka dijamin
penjagaannya oleh Negara. Jika begini adanya, di mana posisi islam sebagai
agama yang pilih kasih?
Yang perlu
kita sadari bencana kapitalisme bukan hanya menyerang kaum muslimin saja tapi
juga umat agama lain yang juga direnggut hak-haknya. Republik Demokratis Kongo
merupakan negeri mayoritas nasrani yang juga termasuk negeri miskin dengan PDB
perkapita hanya $348 (data tahun 2011). Bahkan secara umum, benua afrika di
huni oleh baik muslim maupun non muslim yang kedua-duanya mengalami kemiskinan
dan penderitaan yang sama.
Maka benar
kata Hj. Irene Handono bahwa perjuangan untuk khilafah berarti perjuangan untuk
berbagai suku bangsa, warna kulit dan tentu saja berbagai agama, berjuang untuk
umat manusia di seluruh dunia. Khilafah adalah sistem yang menjadi janji Allah
bagi kaum muslimin, menjadi kebutuhan bagi kaum muslimin sekaligus bagi umat
agama lain. Ustad felix Siaw pernah mengatakan tidak layak bagi seorang muslim
mempertanyakan benar tidaknya janji Allah akan terjadi, benar tidaknya Islam
akan tegak kembali, atau benar tidaknya Khilafah akan tegak lagi, sebab
pertanyaan ini hanya layak untuk diajukan oleh kaum non muslim yang memang
tidak mempercayai Allah sebagai Tuhannya. Kaum muslimin? Setiap hari kaum
muslimin mengucapkan dua kalimat syahadat di setiap sholatnya. Apakah pantas
dzat yang tiap pagi dan sore hari kita kuduskan namanya tidak kita percayai
perkataan dan tuntunannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar